Tuesday, October 20, 2009

Menikmati Skuad Ganda

Mourinho tak perlu khawatir lagi dengan masalah cedera pemain yang menimpa. Timnya tak kekurangan pelapis berkualitas.

Faktor cedera memang kerap menjadi hantu yang menakutkan bagi klub manapun, tak terkecuali untuk jawara Serie-A, Inter Milan. Namun, seharusnya masalah itu tidak berlaku lagi untuk saat ini. Maklum, Presiden Massimo Moratti memang mulai memanjakan allenatore Jose Mourinho dengan melengkapi skuad yang diinginkannya.


Berbeda ketika Inter masih diasuh oleh Roberto Mancini, I Nerazzurri kerap blingsatan saat beberapa pemain intinya secara bersamaan harus naik ke meja perawatan. Skuad pelapis yang dimiliki Mancini ketika itu tidak sekuat yang dimiliki Mourinho saat ini.


Kini, Lo Speciale tak perlu pusing ketika beberapa andalannya seperti Diego Milito, Thiago Motta, ataupun Lucio terpaksa tumbang satu per satu karena dihantam cedera. Pasalnya, skuad pelapis yang dimilikinya memiki kualitas yang tidak berbeda jauh dengan pemain inti. “Kami memiliki skuad yang cukup lengkap untuk mengarungi ketatnya persaingan di musim ini,” kata Mourinho.


Yang terkini, Milito mengalami cedera otot kaki kanannya saat menghadapi Udinese, (3/10) lalu hingga diprediksi harus absen selama dua bulan. Dari segi kontribusi terhadap tim, kehilangan striker asal Argentina itu jelas menjadi pukulan telak bagi Inter. Sejauh ini, El Principe masih menjadi pemain tersubur Inter dengan menghasilkan lima gol dari tujuh partai di Serie-A. Dia menjadi pemain tersering yang mendapat nilai terbaik per partainya, yakni tiga kali saat melawan Bari (23/8), AC Milan (29/8), serta Cagliari (20/9).


Pun dengan dua pemain baru lainnya yang kini juga tengah ditimpa masalah cedera, Motta dan Lucio. Keduanya mulai menjadi figur sentral di skuad Mourinho musim ini. Lucio selalu menjadi pilar utama di lini belakang selama tujuh laga Serie-A. Sayang saat melawan Udinese dia terpaksa ditarik keluar karena mengalami masalah dengan kaki kirinya. Setaraf dengan Motta yang selalu dimainkan Mourinho di tiga laga awal, sebelum akhirnya harus menepi selama sebulan karena cedera.



POTENSI MENEMBUS TIM INTI


Kini Mourinho tak perlu pusing lagi dengan masalah cedera. Untuk lini depan, striker belia, Mario Balotelli sudah semakin matang dan siap menembus skuad utama. Hal itu dibuktikan saat menjadi pemain paling menonjol, meski Inter kalah 0-1 dari Sampdoria di giornata ke enam (27/9).


Striker Samuel Eto’o tak segan mengakui potensi yang dimiliki Balotelli. “Aku selalu memberikan nasihat kepadanya. Semua orang tahu kualitas yang dimilikinya. Dengan usianya saat ini, dia memiliki potensi menjadi yang terbaik,” sanjung Eto’o.


Selain Balotelli, pemain seperti David Suazo juga bisa diandalkan saat Inter mengalami kebuntuan. Pun dengan rekrutan anyar, Marko Arnautovic yang siap menunjukkan tajinya disaat pulih dari cedera.


Di lini tengah, Inter memiliki skuad yang bisa dibilang cukup besar. Hampir semua stok pemain di lini ini memiliki kualitas merata. Mourinho tak perlu was-was saat Motta absen. Pasalnya, langganan skuad utama seperti Esteban Cambiasso, Wesley Sneijder, Dejan Stankovic, serta Il Capitano Javier Zanetti, bisa saling mengisi dengan skuad pelapis seperti Patrick Vieira dan Sulley Muntari. Bahkan, pemain yang jarang mendapat kesempatan seperti Ricardo Quaresma ataupun Amantino Mancini pun siap unjuk gigi saat diberi kesempatan.


Di sektor belakang, kehilangan Lucio justru memberi berkah bagi pemain yang tersingkir dari skuad utama seperti Ivan Cordoba dan Marco Materazzi. Di posisi bek sayap, ada pemain belia, Davide Santon yang penampilannya kian menanjak dua musim terakhir. Bahkan, pelatih timnas Italia, Marcello Lippi pun mulai mempercayainya masuk ke dalam skuad bayangan menuju Piala Dunia 2010. Santon bisa diproyeksikan menutup lubang yang ditinggal Maicon, Cristian Chivu ataupun Zanetti.


Salah satu titik lemah Inter ada di posisi penjaga gawang. Deputi Julio Cesar di bawah mistar gawang Inter, Francesco Toldo sudah semakin menurun penampilannya. Apalagi dengan usia yang tidak muda lagi, (36 tahun), Toldo pun mulai memikirkan masa-masa akhir kariernya. Sementara kiper lain seperti Paolo Orlandoni kualitasnya cukup jauh di bawah kedua pemain utama Inter.


Namun, kondisi itu tidak lantas melemahkan skuad yang dimiliki Mourinho. Secara materi tim, Moratti memang layak membebankan target juara Liga Champions kepada Inter di musim ini.



Mario Balotelli

Suksesor Il Jardinero



Sejak musim 2003-04, Inter Milan memiliki figur supersub pada diri Julio Cruz. Striker asal Argentina itu menjadi spesialis pemain pengganti yang mampu membawa pengaruh besar terhadap permainan Inter. Dari kepala maupun kakinya pula terkadang lahir gol-gol penentu kemenangan timnya.


Kini, I Nerazzurri sudah melupakan sosok berjuluk Il Jardinero itu. Kejayaan Cruz bersama Inter telah berakhir. Kini, striker berusia 34 tahun itu telah berlabuh di klub asal Ibukota Italia, Lazio. Namun, kehilangan Cruz tak lantas membuat Inter kehilangan figur supersub. Kini, muncul talenta muda berbakat yang siap meneruskan pekerjaan Cruz di Giuseppe Meazza. Dialah Mario Balotelli.


Sejak muncul di musim 2007-08, Balotelli langsung menjadi buah bibir di Italia. Balotelli berkembang menjadi striker tangguh, gesit, dan tajam. Bahkan, di musim keduanya bersama ti senior, pelatih Jose Mourinho langsung memercayainya berduet dengan Zlatan Ibrahimovic. Hasilnya, tak sia-sia, striker berjuluk Super Mario itu mampu menghasilkan 10 gol dari 31 penampilannya di seluruh ajang.


Kini, status Balotelli tak lagi pemain inti. Meski Ibrahimovic telah hengkang ke Barcelona, kehadiran Diego Milito dan Samuel Eto’o membuat striker keturunan Ghana itu harus rela berperan sebagai pengganti. Namun, hal itu tak lantas membuat Balotelli patah arang. Justru dari peran barunya itu Balotelli diyakini mampu semakin belajar banyak untuk menjadi seorang bintang.


“Dalam beberapa bulan, dia bisa menjadi pemain yang istimewa bagi klub maupun fans,” puji Mourinho.

Coppia idaman Moratti

Keputusan melepas Ibra terbukti tidak salah. Inter siap mencatat sejarah bersama coppia anyar, Eto’o dan Milito.

Keraguan muncul saat Presiden Inter Milan, Massimo Moratti mengambil langkah berani melepas Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona. Namun, pandangan itu kini berbalik 180 derajat. Optimisme mulai menyeruak berkat kehadiran coppia atau duet pilihan Presiden Massimo Moratti, Diego Milito dan Samuel Eto’o. Keduanya menjelma menjadi tandem yang menakutkan dan siap mencetak rekor baru bagi I Nerazzurri.


Dengan kualitas yang dimiliki Milito dan Eto’o, Inter tetap diunggulkan mempertahankan scudetto musim ini. Terbukti, dari enam partai yang dilalui Inter di Serie-A, duet baru itu bisa langsung padu dengan tim. Strategi pelatih Jose Mourinho mampu dijalankan dengan baik. “Eto’o memiliki kecepatan, dan mampu cepat padu dengan pemain lainnya, terutama dengan Milito yang memiliki karakter bermain taktis,” kata Moratti seperti yang dilansir Sky Sport.


Hal senada diakui midfielder baru Inter, Thiago Motta yang optimis kehadiran Milito dan Eto’o bakal memperkuat daya gedor timnya. “Banyak pemain hebat di klub ini, salah satunya Eto’o. Pun Milito yang sanggup memberi perubahan di setiap permainan. Keduanya pemain yang istimewa, dan akan membuat serangan kami semakin tajam,” jelas Motta.


Prediksi Moratti serta Motta terbukti. Hingga giornata ke enam, duet Milito-Eto’o sudah langsung unjuk gigi. Peran keduanya cukup sentral di setiap kemenangan Inter. Total delapan gol sudah dihasilkan, atau 50 persen lebih dari gol yang dihasilkan Inter hingga pekan ke enam Serie-A. Milito mencetak lima gol, sementara Eto’o menghasilkan tiga.


Karena itu, tak heran jika banyak yang menjagokan duet Inter itu bakal menjadi yang tersubur di Serie-A. Bahkan, keduanya pun siap mencatatkan diri sebagai pasangan terbaik dalam sejarah klub.


OPTIMAL DENGAN 4-3-1-2


Jika melihat dari enam giornata yang telah dilalui Inter, ada faktor penting yang mempengaruhi penampilan Milito dan Eto’o. Keduanya bisa tampil baik saat Inter memainkan formasi 4-3-1-2. Dalam hal ini, lini tengah, khususnya trequartista memiliki peran yang sangat vital. “Sejak awal, pelatih sudah meminta seorang playmaker sebagai pendukung duet Eto’o dan Milito,” ucap Moratti.


Di lima giornata awal, 4-3-1-2 kerap dimainkan allenatore Jose Mourinho sebagai formasi utama dengan menempatkan Wesley Sneijder atau Dejan Stankovic di belakang duet Milito-Eto’o. Namun, saat menghadapi Sampdoria di giornata ke enam lalu, Mourinho justru bereksperimen memainkan pola, 4-3-3 dengan menempatkan Milito sebagai ujung tombak didukung Mario Balotelli dan Eto’o dari sektor sayap. Hasilnya, Inter dipaksa takluk untuk pertama kalinya di musim ini oleh Sampdoria.


Eksperimen Mourinho dinilai gagal. Permainan sayap dengan umpan-umpan silang yang diinginkan Mourinho nyatanya bukan pola yang cocok untuk mengoptimalkan duet Milito-Eto’o. Berbeda saat Inter masih memiliki striker jangkung seperti Ibrahimovic (192 cm), yang memiliki keunggulan dalam duel udara.Dengan tinggi Milito yang hanya 179 cm, dan Eto’o 180 cm, keduanya memang kurang optimal saat harus bermain dengan bola atas. Dari delapan gol, tak satupun dihasilkan lewat sundulan kepala.


Milito dan Eto’o bisa tampil baik saat Inter bermain dengan mengalirkan bola dari tengah ke depan, dan tidak melalui sisi sayap. Tak pelak, kreativitas lini tengah sangat berpengaruh penting dalam skema ini. Sayang, Sneijder yang diharap bisa memanjakan Milito dan Eto’o masih belum bisa tampil konsisten. Jika Mourinho mampu memaksimalkan peran lini tengah, penampilan Milito dan Eto’o diyakini bakal semakin ganas.


“Kerjasamaku dengan Eto’o sudah semakin padu. Kami sudah bisa saling memahami karakter masing-masing. Ke depannya, aku yakin kami akan semakin berkembang dan menjadi duet maut. Ditambah pemain hebat lain di dalam tim, kami akan mencetak banyak gol di akhir musim nanti,” ujar Milito.


Statistik per musim

Dengan rasio gol hingga giornata keenam, duet anyar Inter, Diego Milito dan Samuel Eto’o berpeluang menjadi pasangan striker terbaik yang pernah dimiliki Inter di era Presiden Massimo Moratti. Hingga lebih dari satu dekade, Moratti hanya memiliki tiga coppia terbaik dengan jumlah gol tertinggi 33. Mereka adalah Ronaldo-Youri Djorkaeff (1997/98), Christian Vieri-Alvaro Recoba (2002/03), serta Zlatan Ibrahimovic-Mario Balotelli (2008/09).


Coppia di era Moratti



Mengejar 60 gol semusim


Dari enam laga yang telah dilalui di Serie-A, hanya satu partai salah Diego Milito ataupun Samuel Eto’o absen mencetak gol yaitu saat Inter Milan dikalahkan Sampdoria di giornata ke enam, (26/9) lalu. Selain itu, nama Eto’o ataupun Milito selalu hadir di papan skor setiap Inter bertanding.


Milito telah menghasilkan lima gol, sementara Eto’o mencetak tiga. Keduanya menyumbang delapan gol dari total 12 gol yang dihasilkan Inter hingga pekan ke enam. Secara rasio, coppia Milito-Eto’o mengasilkan 1,60 gol per partai. Jika rasio ini mampu dipertahankan hingga akhir musim, maka jumlah yang bisa dihasilkan sampai pekan ke-38 berkisar 50-60 gol.


Angka tersebut membuat Milito-Eto’o mampu melampaui rekor Inter yang dipegang Stefano Nyers dan duetnya Faas Wilkes dengan 54 gol pada musim 1950-51. Saat itu, Nyers meghasilkan 31 gol dan Wilkes menyumbang 23 gol.


Daftar coppia terbaik Inter

Musim = Duet = Jumlah gol

1950/51 = Stefano Nyers (31 gol) – Faas Wilkes (23) = 54 gol

1958/59 = Antonio Angelillo (33) – Edwin Firmani (20) = 53

1949/50 = Stefano Nyers (30) – Amedeo Amadei (20) = 50

1948/49 = Stefano Nyers (26) – Amedeo Amadei (22) = 48

1929/30 = Giuseppe Meazza (31) – Pietro Serantoni (16) = 47

Dinasti Moratti: Melampaui La Grande Inter

Jiwa kepemimpinan Angelo Moratti menurun pada sang anak. Kini, Massimo Moratti tinggal sedikit lagi menyaingi era keemasan sang ayah.


Sudah lebih dari seabad Inter Milan mengarungi pentas Serie-A. Sebanyak 17 trofi juara pun telah memenuhi lemari gelar mereka. Jika dipersempit, ada dua sosok yang sangat berjasa besar membangun Inter menuju era keemasan. Menariknya, dua orang itu justru berasal dari satu dinasti.


Dalam sejarah Inter, baru sekali seseorang yang berasal dari garis keturunan yang sama meneruskan jabatan kepresidenan. Setelah Angelo Moratti menjabat sebagai presiden ke-15 Inter pada 1955-68, dua periode berikutnya memang sempat diambil alih oleh Ivanoe Fraizzoli dan Ernesto Pellegrini. Namun, sejak 1995, dinasti Moratti berlanjut setelah Massimo Moratti diberi mandat meneruskan perjuangan sang ayah.


Tak dipungkiri, dinasti Moratti memang memiliki jasa yang sangat besar bagi kejayaan Inter. Selama masa kepemimpinannya, Angelo membuat La Beneamata memasuki era keemasannya hingga mendapat julukan “La Grande Inter”. Saat itu, Inter dibawanya meraih tiga gelar scudetti, dua trofi Piala Champions, serta dua Piala Interkontinental, atau yang kini disebut Piala Dunia Antarklub.


Hanya Angelo yang mampu meraih prestasi sedemikian hebat. Selain tiga gelar scudetti menjadi rekor terbanyak diantara presiden, tentunya dua gelar Piala Champions dan Piala Interkontinental menjadi koleksi terbaik Inter sepanjang sejarah.


Beberapa yang bisa mendekati Angelo hanya Carlo Masseroni dengan koleksi dua gelar scudetti dan satu Coppa Italia, serta Ivanoe Fraizzoli (2 scudetti dan dua Coppa Italia). Namun, tak ada satupun yang mampu mengganggu rekor Piala Champions dan Piala Interkontinental yang diraih Angelo. Hingga akhirnya anak keempat Angelo muncul untuk meneruskan kejayaan sang ayah.


MEMBURU EMPAT TROFI


Sejak didaulat sebagai presiden Inter ke-18, Massimo terpaksa memikul beban berat menjaga nama besar sang ayah. Maklum, sebagai pemimpin “La Grande Inter”, nama Moratti senior telah terukir dengan tinta emas di dalam buku sejarah La Beneamata. Namun, langkah Massimo untuk mengudeta rekor sang ayah sudah mulai dirintis.


Pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” mungkin paling pas menyimak kehadiran dinasti Moratti di tubuh Inter. Sebagai ayah sekaligus guru bagi sang anak, jiwa kepemimpinan yang dimiliki Angelo menurun pada diri Massimo.


Di pengujung musim 2008-09, Massimo berhasil meraih gelar scudetto ke empatnya selama 14 tahun memimpin Inter. Pencapaian itu berhasil melewati rekor tiga gelar scudetti milik sang ayah.


Meski begitu, satu noda dalam gelar Massimo ada pada musim 2005-06, saat gelar Inter merupakan hibah setelah Juventus mendapat skorsing akibat terlibat skandal calciopoli. Apalagi, saat itu Massimo juga secara resmi tidak menjabat sebagai presiden Inter. Tampuk kepemimpinan saat itu sempat diambil alih oleh Giacinto Facchetti yang diberi mandat langsung oleh sang taipan minyak sejak 2004-06.


Tapi, setidaknya dalam buku sejarah Serie-A, trofi yang diraih Massimo mencapai empat buah. Jumlah gelar yang membuat Massimo mengunguli ayahnya dalam perolehan trofi domestik.


Toh perjuangan Massimo belum berakhir. Pemimpin salah satu perusahaan minyak terbesar Italia, Saras S.p.A. ini, berkesempatan melewati prestasi sang ayah jika sanggup meraih dua gelar Liga Champions dan dua gelar di Piala Dunia Antarklub.


“Liga Champions tetap menjadi target obyektif kami. Tapi, memenangi scudetto untuk kelima kalinya secara berturut-turut pun istimewa, meski tidak mudah meraihnya,” kata Massimo kepada La Gazzetta dello Sport.


Target yang tidak mudah bagi Massimo. Maklum, selama ini Inter memang kerap kesulitan memburu gelar terbaik bagi klub-klub di Eropa tersebut. Namun, bukan berarti Massimo menyerah. Musim ini, Liga Champions kembali menjadi target utama yang diembankan kepada allenatore Jose Mourinho.


Selain itu, Massimo mendapat dukungan penuh dari jajaran direksi Inter untuk berprestasi melampaui rekor sang ayah. “Dia (Massimo Moratti) ingin memenangi segalanya. Dia pun ingin gelar kelimanya di Serie-A. Ambisinya adalah melewati pencapaian milik ayahnya (Angelo),” ucap Direktur Inter, Ernesto Paolillo.


Angelo Moratti

Dibantu sentuhan ajaib Herrera


Lahir pada 5 November 1909 di Somma Lombardo, Italia, Angelo mengawali bisnisnya dengan mendirikan perusahaan minyak, Saras S.p.A. Kesukaannya terhadap sepak bola mulai muncul sekitar tahun 1929, saat pertama kali diajak tunangannya ketika itu, Erminia Cremonesi, menyaksikan Inter bertanding. Dan sejak saat itu pula Angelo muda mulai menjadi pendukung setia I Nerazzurri.


Pada 1955, Angelo terpilih sebagai presiden Inter ke-15, melanjutkan kepemimpinan Carlo Masseroni. Lima musim pertamanya duduk di kursi tertinggi Inter, Angelo belum bisa mempersembahkan prestasi bagi Inter. Sekitar tahun 1960 nasib Angelo membaik setelah mendatangkan pelatih asal Argentina, Helenio Herrera. Di bawah asuhan Herrera, Inter menjelma menjadi tim terbaik di Italia, Eropa, bahkan dunia, sekaligus mendapat julukan “La Grande Inter”.


Selama 12 tahun memimpin Inter, Angelo menghabiskan dana sekitar 100 juta pounds atau Rp1,6 triliun, termasuk mengumpulkan pemain bintang seperti Luis Suarez, Sandro Mazzola, Mario Corso, maupun Il Capitano Giacinto Facchetti. Hasilnya langsung terlihat saat tiga gelar scudetto berhasil diraihnya. Di era Angelo pula Inter berhak mendapat tanda satu bintang setelah meraih gelar scudetto ke-10 nya pada 1965-66.


Prestasi Inter kala itu tak hanya di kompetisi domestik. Di Eropa, mereka berjaya setelah di final Piala Champions 1963-64 mampu mengalahkan Real Madrid dengan skor 3-1. Sejarah berlanjut setahun kemudian saat laga final Piala Champions yang digelar di Stadion Giuseppe Meazza mempertemukan Inter dengan jawara Portugal, Benfica. Melalui gol tunggal Jair, Inter merengkuh Piala Champions keduanya sepanjang sejarah.


Musim 1966-67 merupakan titik balik prestasi Angelo. Setelah gelar scudetto dan Piala Champions lepas dari tangan Inter, Angelo memutuskan mundur dari jabatan sebagai presiden Inter dan menyerahkan tampuk kepemimipinannya kepada Ivanoe Fraizzoli pada tahun 1968. Mundurnya Angelo, berarti berakhirnya era “La Grande Inter”.


Prestasi Angelo Moratti: 3 scudetti, (1962-63, 1964-65, 1965-66), 2 Piala Champions (1963-64, 1964-65), 2 Piala Dunia Antarklub, (1964, 1965)


Skuad scudetto Inter:

1962-63 - Buffon, Burgnich, Facchetti, Zaglio, Guarneri, Picchi, Jair, Mazzola, Di Giacomo, Suarez, Corso. (inti). Bettini, Bicicli, Bolchi, Bugatti, Dellagiovanna, Ferretti, Hitchens, Maschio, Masiero, Morbello, Tagnin. (cadangan).

1964-65 - Sarti, Burgnich, Facchetti, Tagnin, Guarneri, Picchi, Jair, Mazzola, Domenghini, Suarez, Corso. (inti). Canella, Bedin, Bugatti, Dellagiovanna, Malatrasi, Di Vincenzo, Gori, Landini, Milani, Peiro. (cadangan).

1965-66 - Sarti, Burgnich, Facchetti, Bedin, Guarneri, Picchi, Jair, Mazzola, Domenghini, Suarez, Corso. (inti). Canella, Cappellini, Cordova, Facco, Gori, Landini, Malatrasi, Miniussi, Peiro. (cadangan).


Massimo Moratti

Membuang Rp4,3 triliun


Massimo Moratti lahir pada 16 Mei 1945 sebagai anak keempat Angelo dan Erminia Cremonesi. Berbeda dengan sang ayah, sejak kecil Massimo sudah mulai akrab dengan sepak bola, khususnya Inter.


Karier Massimo di Inter dimulai pada tahun 1995 usai meneruskan estafet kepemimpinan dari tangan Ernesto Pellegrini. Di era Massimo, Inter justru mengawalinya dengan masa-masa krisis. Sempat memenangi Piala UEFA pada musim 1997-98, setelahnya cukup lama Inter mengalami paceklik gelar.


Demi memburu gelar, lebih dari 300 juta euro atau sekitar Rp4,3 triliun telah dikucurkan Massimo guna mendatangkan bintang-bintang kelas dunia seperti Ronaldo, Zlatan Ibrahimovic, Luis Figo, termasuk pemain termahal Inter, Christian Vieri. Dia dibeli dari Lazio pada 1999 seharga 48 juta euro (sekitar Rp694 miliar). Di eranya pula, Inter telah sembilan kali berganti pelatih.


Kesabaran Massimo akhirnya datang justru melalui cara yang tidak disangka. Pada musim 2005-06, Inter mendapat hibah scudetto dari tangan Juventus yang harus terdegradasi ke Serie-B akibat skandal calciopoli. Sejak itu pula Inter di era Massimo memulai kejayaannya. Tiga musim berikutnya, Inter tak terbendung untuk terus menguasai Serie-A.


Namun, masih ada satu prestasi yang belum berhasil dicapai Massimo. Liga Champions tetap menjadi prioritas utama Inter setelah mempertahankan scudetto. La Beneamata baru dua kali merasakan euforia juara di ajang tersebut di era Angelo Moratti.


Kini, sang anak pun ingin mencicipi apa yang pernah dirasakan ayahnya. Apalagi, dengan tambahan dua gelar Liga Champions dan Piala Dunia Antarklub, Massimo bakal menggeser posisi ayahnya dari daftar pemimpin terbaik Inter sepanjang masa.

Prestasi Massimo Moratti: 4 gelar scudetti (2005-06, 2006-07, 2007-08, 2008-09), 2 Coppa Italia (2004-05, 2005-06), 1 Piala UEFA (1997-98)


Skuad scudetto Inter:

2005-06 - Julio Cesar, J. Zanetti, Cordoba, Samuel, Favalli, Figo, Veron, Cambiasso, Stankovic, Adriano, Cruz. (inti). Toldo, Materazzi, Burdisso, Wome, Ze Maria, Mihajlovic, Pizarro, Kily Gonzalez, C. Zanetti, Solari, Cesar, Martins, Recoba. (cadangan)

2006-07 - Julio Cesar, Maicon, Cordoba, Materazzi, Maxwell, Zanetti, Vieira, Cambiasso, Stankovic, Crespo, Ibrahimovic. (inti). Toldo, Grosso, Samuel, Burdisso, Solari, Dacourt, Gonzalez, Figo, Adriano, Cruz, Recoba. (cadangan)

2007-08 - Julio Cesar, Maicon, Cordoba, Materazzi, Maxwell, Zanetti, Vieira, Cambiasso, Stankovic, Cruz, Ibrahimovic. (inti). Toldo, Samuel, Burdisso, Solari, Dacourt, Figo, Adriano, Crespo, Chivu, Rivas, Cesar, Jimenez, Maniche, Pelè, Balotelli, Suazo. (cadangan)

2008-09 - Julio Cesar, Maicon, Cordoba, Samuel, Maxwell, Zanetti, Muntari, Cambiasso, Stankovic, Balotelli, Ibrahimovic. (inti). Toldo, Orlandoni, Chivu, Burdisso, Santon, Materazzi, Rivas, Bolzoni, Dacourt, Figo, Jimenez, Mancini, Quaresma, Vieira, Adriano, Crespo, Cruz, Obinna. (cadangan)

Curva Nord 69: Setia Lebih dari 40 tahun

Tifosi setia yang selalu hadir di kala Inter bertanding. Loyalitasnya patut diacungi jempol.


Dalam beberapa tahun terakhir, kerusuhan baik di dalam maupun di luar stadion sering pecah di Italia. Banyak yang menganggap segala insiden tak lepas dari ulah kelompok suporter garis keras yang menamakan dirinya Ultras. Dengan segala fanatismenya, Ultras dianggap sering menimbulkan masalah hampir di setiap pertandingan, terlebih yang bernuansa rivalitas.


Namun, ada hal menarik dari kehadiran Ultras di Italia. Sebagai pendukung klub yang paling loyal, Ultras ternyata memiliki hak suara untuk ikut menentukan kebijakan klub. Ultras di Italia juga cenderung lebih terorganisir, bahkan hampir menyerupai sebuah organisasi politik.


Jika dipersempit, Curva Nord 69 (penghuni tribun utara Stadion Giuseppe Meazza), menjadi salah satu dengan jumlah anggota terbanyak di Italia. Menurut data yang dikeluarkan La Republica, Inter menguasai sekitar 16 persen fans fanatik sepak bola di Italia. Mereka hanya kalah dari Juventus (28%), dan penghuni Curva Sud, AC Milan (23%). Namun mereka unggul atas Napoli (9%), AS Roma (7%), dan Lazio (3%).


Curva Nord 69 menjadi salah satu kelompok suporter yang paling disegani di Italia. Bukan hanya dari tindakan anarkis mereka di lapangan, tapi juga dari sisi positif. Sudah 40 tahun sejak 1969 mereka mengabdikan dirinya guna menyemangati setiap Inter bertanding. Jelas dengan usia setua itu, pengaruh mereka pun cukup kental. Bahkan, mantan kapten AC Milan, Paolo Maldini pun sempat mengakui loyalitas pendukung setia rivalnya itu. “Selama ini mereka memang kerap membuat kami khawatir di lapangan, namun saya mengakui loyalitas mereka,” kata dia.


Curva Nord 69 bukan hanya didominasi satu kelompok tifosi saja. Inter memiliki beberapa kelompok Ultras yang selalu setia mendampinginya di setiap laga. Salah satunya Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurre), kelompok Ultras tertua ke dua La Curva Milano setelah Fossa dei Leoni dari Curva Sud. Selain itu, ada juga Ultras Inter, Viking Inter, Brianza Alcoolica, Irriducibili, dan beberapa kelompok minor lain. Mereka inilah yang selalu menyemangati I Nerazzurri. (@IrawanCobain)



LA Curva Nord 69 Milano


1. Boys S.A.N (Squadre d'Azione Nerazzurre)


Kelompok tertua di Curva Nord 69. Berdiri pada 1969, hanya selang setahun setelah Fossa dei Leoni pertama kali muncul. Boys diambil dari nama anak nakal di sebuah komik bernama serupa. Di era 80-an Boys S.A.N kian ditakuti sebagai kelompok yang kerap membuat ulah. Namun, sejak awal 90-an, Boys S.A.N meminimalisir aksi anarkis, dan lebih fokus mengekspresikan fanatisme melalui berbagai koreografi di stadion. Sekadar info, Boys S.A.N terbentuk meneruskan ide pelatih Inter ketika itu, Helenio Herrera yang menginginkan terbentuknya sebuah kelompok suporter yang terorganisir dengan rapi.


2. Ultras Inter (Forever Ultras)

Di Curva Nord, Ultras menjadi yang tertua ke dua setelah Boys S.A.N. Mereka berdiri sejak 1975 dengan nama Forever Ultras sebelum diganti pada 1995. Pelopornya adalah dua pemuda bernama Luciano dan Curzio, yang pertama kali memunculkan spanduk bertuliskan Forever Ultras di Curva Nord, tepat berdampingan dengan Boys S.A.N. Sejak 1997, Ivan Renato menjadi sutradara Ultras setelah meneruskan era kepemimpinan sebelumnya.


3. Viking Inter

Kelompok ketiga di Curva Nord ini terbentuk pada 1984. Viking juga dikenal sebagai salah satu pendukung beraliran sayap kanan paling loyal di Italia. Sayang, mereka kerap bersikap rasis. Kebetulan, Viking memang berhubungan sangat dekat dengan Blood & Honour Varese (kelompok suporter yang menolak anti-rasisme di sepak bola). Viking pun menjadi sangat menonjol di Curva Nord dengan indentitas bendera paling besar di antara suporter Ultras Inter lainnya.


4. Brianza Alcoolica

Brianza Alcoolica (semangat Brianza) memang baru resmi didirikan pada November 1985. Namun, berbagai spanduk bertuliskan nama kelompok mereka sudah muncul beberapa tahun sebelumnya di Madrid, Spanyol. Dipelopori oleh beberapa orang yang merasa tidak cocok dengan segala kekerasan Curva Nord, Brianza Alcoolica memisahkan diri dengan idealisme mereka untuk menciptakan hiburan di stadion. Mungkin karena itu pula Brianza Alcoolica menjadi kelompok dengan jumlah suporter paling sedikit di antara lima lainnya.


5. Irriducibili

Irridubicili menjadi kelompok paling kontroversial di antara Ultras Inter lainnya. Berdiri sejak 1988, kelompok ini juga dikenal dengan nama “Skins” ini langsung membuat kericuhan dengan menyerang setiap pendukung lawan yang datang ke Giuseppe Meazza. Ciri khas Irridubicili adalah maskot seekor anjing hitam sebagai lambang kejahatan atau keonaran bernama Muttley. Dengan slogan “Non basta essere Bravi bisogna essere I migliori” (untuk menjadi yang terbaik, tidak cukup dengan bersikap baik), tak heran jika jika Irridubicili kerap berbuat onar di stadion. Bahkan mereka dengan terang-terangan mengaku setiap mendukung Inter, tak akan pernah lepas dari minuman beralkohol.


6. Milano Nerazzurra

Kelompok ini memang lebih kecil dibanding Boys SAN atau lainnya. Namun, mereka justru mampu tampil dengan warna-warna mencolok melalui koreografinya di sisi kiri Curva Nord. Milano Nerazzurra juga mendapat julukan “Potere Nerazzurro” atau Si Hitam Biru yang Kuat. Sejak berdiri sekitar akhir 80-an, Milano Nerazzurri memang telah menyatakan ketidakcocokannya dengan saudara tua mereka, Boys SAN. Tak heran jika letak kedua kelompok ini berjauhan, yang satu di sisi kiri, dan yang satunya di sisi kanan.


7. Boys Sez Roma

Meski Boy Sez Roma lahir dari sekelompok laki-laki yang berasal dari Kota Roma, mereka justru merupakan pendukung fanatik Inter Milan. Sejak awal berdiri pada 1979 lalu, kelompok ini memang membatasi anggotanya di usia 18-30 tahun, dan tentunya dengan satu tujuan mendukung Inter Milan. Boy Sez Roma mengambil posisi di sisi kanan Curva Nord dan berhubungan sangat dekat dengan Boys S.A.N

In Memoriam: Giacinto Facchetti

In Memoriam: Giacinto Facchetti