Tuesday, January 24, 2012

Status Finansial Inter (Sampai Akhir 2011)


Tak dipungkiri, sistem patronasi di Italia memang masih cukup kental. Hampir semua klub masih bergantung kepada kekayaan sang pemilik. Untung-rugi masih berupa jurang yang cukup tinggi. Demi mencapai prestasi, seorang pemilik pun tak ragu menggelontorkan dana besar tanpa melihat risiko yang mengadang.

Inter salah satunya. Sejak Massimo Moratti mengambil alih tampuk pimpinan, selama 16 tahun, I Nerazzurri telah merugi mencapai 1,3 miliar euro. Tapi semua kerugian tersebut bisa tertutupi berkat suntikan dana pribadi sang patron. Namun, sistem seperti itu sekarang mulai ditinggalkan. Demi beradaptasi dengan aturan Financial Fair Play yang akan dimonitor UEFA pada musim 2013-14, Inter harus bisa membiayai semua kerugian dengan pendapatan murni klub.

Banyak yang menyangsikan kemampuan Inter. Tradisi yang sudah mengakar selama belasan tahun tentu sulit dihilangkan. Toh, Moratti tetap optimistis. “Filosofi klub untuk dua tahun mendatang adalah menyeimbangkan neraca keuangan. Kami akan melakukan apa pun agar bisa mencapainya,” ucap Moratti setahun silam.

Program-program “tak populer” pun mulai diterapkan. Mulai dari penjualan pemain bintang bergaji tinggi hingga penerapan salary cap. Hasilnya mulai terlihat. Meski masih merugi, rapor keuangan Inter menunjukkan pergerakan ke arah lebih baik.

Inter berusaha keras menurunkan kerugian hingga 45 juta euro per tahun. Sebab itulah batas toleransi dari UEFA untuk Inter sejak diberlakukannya Financial Fair Play yang akan efektif terhitung pada 2012-13. Musim selanjutnya angka tersebut akan terus diturunkan secara berkala. Pada 2015-16, angka kerugian maksimal yang bisa ditoleransi UEFA adalah 30 juta euro. Lalu periode berikutnya pada 2018-19 angka tersebut masih akan menurun.

Dari data yang dilansir La Gazzetta dello Sport, Inter telah menunjukkan langkah positif. Jika pada 2007 rugi 206,3 juta euro, pada 2010 menurun jadi 67,5 juta euro. Terget pada 2011 sebenarnya terus turun ke angka 60 juta euro. Sayang pada 2011 target tersebut tidak tercapai. Kerugian Inter naik sedikit atau menjadi 84,6 juta euro.

*) Tren Kerugian Inter

Tahun

Rugi

2007

206,3 juta euro

2008

145,9 juta euro

2009

153,5 juta euro

2010

67,5 juta euro

2011

84,6 juta euro


PENGHEMATAN GAJI

Pada 2011 lalu, manajemen Inter menerapkan salary cap. Gaji pemain inti maksimal tiga juta euro per musim. Pengecualian hanya diberikan kepada beberapa pemain bintang. Selain pengetatan gaji, pemain bergaji tinggi seperti Samuel Eto’o, David Suazo, dan Amantino Mancini juga dilepas. Sebagai gantinya menajemen mendatangkan pemain muda bergaji rendah.

Dari kebijakan ini manajemen bisa menghemat pengeluaran gaji tahunan sebesar 17,9 juta euro. Gaji tertinggi di Inter sendiri masih dipegang oleh Wesley Sneijder, yakni 6 juta euro per tahun. Dan, jika pada akhirnya Sneijder benar-benar dilepas paling lambat pada musim panas mendatang, tentu akan berpengaruh signifikan terhadap pemangkasan pengeluaran gaji pemain. Namun, Inter tentu tak akan sembarangan dalam melepas seluruh pemain bintangnya. Pertimbangan keseimbangan kekuatan tim tentu masih harus diperhitungkan.

Inter sendiri berada di urutan kedua dari 20 klub Serie-A dengan pengeluaran gaji tertinggi. Total selama setahun Inter menggelontorkan 145 juta euro untuk membayar gaji para pemainnya. Hanya kalah dari AC Milan yang mengeluarkan sebesar 160 juta euro per tahun. Zlatan Ibrahimovic masih memegang status pemain bergaji tertinggi di Milan maupun Serie-A, dengan 9 juta euro per musim.

Yang menarik Juventus. Mereka berada di urutan ketiga klub dengan pengeluaran gaji tinggi. Total, Si Nyonya Tua harus menggelontorkan biaya 100 juta euro untuk gaji pemain. Termasuk gaji tertinggi yang dimiliki Gianluigi Buffon senilai 6 juta euro per tahun. Akan tetapi, pengeluaran Juventus tampaknya akan berkurang drastis seiring kepergian Amauri ke Fiorentina, dan kemungkinan hengkangnya Luca Toni serta Vincenzo Iaquinta. Maklum, ketiganya termasuk pemain bergaji tinggi di Juventus. Amauri memperoleh 4 juta euro, sementara Toni dan Iaquinta sama-sama mengantongi 3 juta euro per tahunnya. Jika Toni dan Iaquinta menyusul Amauri, berarti Juventus akan berhemat sebesar 10 juta euro.

Inter sendiri bisa saja mengambil kebijakan serupa andai berani melepas Sneijder (gaji: 6 juta euro), Diego Milito (4,5 juta euro), Maicon (4 juta euro), Cristian Chivu (3,5 juta euro), atau Thiago Motta (3 juta euro). Apalagi beberapa pemain dengan gaji tak terlalu tinggi seperti Andrea Ranocchia (1,50 juta euro), Ricky Alvarez (1 juta euro), Yuto Nagatomo (0,70 juta euro), atau Andrea Poli dan Philippe Coutinho (0,60 juta euro) sudah menunjukkan kemajuan pesat.

*) Pemain baru 2011-12

Nama

Gaji bersih

Gaji kotor

Diego Forlan

3,5 juta euro

7 juta euro

Gianpaolo Pazzini

2,5 juta euro

5 juta euro

Andrea Ranocchia

1,5 juta euro

2,5 juta euro

Jonathan

1,2 juta euro

2,5 juta euro

Ricardo Alvarez

1 juta euro

2,5 juta euro

Emiliano Viviano

1 juta euro

3 juta euro

Yuto Nagatomo

0,7 juta euro

3 juta euro

Luc Castaignos

0,4 juta euro

1,4 juta euro

Mauro Zarate*

2 juta euro

5 juta euro

Andrea Poli*

0,6 juta euro

1,8 juta euro

Jumlah gaji


33,7 juta euro

*) Pemain dilepas 2011-12

Nama

Gaji bersih

Gaji kotor

Samuel Eto’o

8 juta euro

20 juta euro

Davide Santon

1 juta euro

2 juta euro

Amantino Mancini

3,5 juta euro

7 juta euro

David Suazo

3,2 juta euro

6,4 juta euro

Jonathan Biabiany

0,8 juta euro

1,6 juta euro

Victor Obinna

1 juta euro

2 juta euro

Nelson Rivas

1 juta euro

2 juta euro

Marco Materazzi

1,5 juta euro

3 juta euro

Goran Pandev*

3 juta euro

6 juta euro

McDonald Mariga*

0,8 juta euro

1,6 juta euro

Jumlah gaji


51,6 juta euro

Total Penghematan: 17,9 juta euro

Keterangan: * Pemain status pinjaman/ dipinjam


PEMASUKAN DARI BURSA TRANSFER

Inter Milan di bawah Moratti terkenal sebagai tim yang selalu boros di bursa transfer. Selama 12 tahun hingga pengujung 2009 saja, total pengeluaran mereka mencapai 473 juta euro. Tapi sejak 2009-10 kebijakan mereka berubah drastis. Inter mulai berusaha menghasilkan uang dari bursa transfer. Tiga musim terakhir, Inter hanya menggelontorkan dana 24 juta euro di bursa transfer.

Meski pada era Jose Mourinho beberapa pemain bintang seperti Samuel Eto'o, Diego Milito dan Wesley Sneijder dihadirkan, namun semua bisa tertutup berkat pendapatan dari menjual Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona senilai 54 juta euro, Jonathan Biabany ke Parma (5 juta euro), dan Maxwell ke Barcelona (4 juta euro) pada 2009 lalu. Selain itu, penjualan pada tahun berikutnya pun cukup mengesankan, yakni melepas Mario Balotelli ke Manchester City (31 juta euro), Nicolas Burdisso ke AS Roma (8 juta euro) dan Mattia Destro ke Genoa (5 juta euro). Pun ditambah biaya kompensasi sebesar 16 juta euro yang dibayar Real Madrid untuk memboyong Jose Mourinho.

“Mulai sekarang kami lebih fokus menjual pemain. Setelah mendapatkan uang dari penjualan, kami baru bisa berpikir tentang pembelian,” kata Direktur Umum Inter Milan, Ernesto Paolillo.

Atas dasar hal itu, tak heran jika belakangan Inter terlihat getol membeli pemain-pemain berusia muda yang namanya bahkan masih cukup asing. Sebut saja Ricky Alvarez, Jonathan, Luc Castaignos, atau yang sudah datang sebelumnya Philippe Coutinho. "Sekarang kami memburu pemain muda dengan potensi besar, pemain yang akan kami kembangkan," tutur direktur teknik Inter, Marco Branca.

*) Transaksi di bursa transfer lima musim terakhir

Musim

Untung/ Rugi

2011-12

0

2010-11

(+) 19

2009-10

(+) 15

2008-09

(-) 53

2007-08

(-) 26

Keterangan: Dalam juta euro


PENDAPATAN TERUS NAIK

Berdasarkan data Deloitte, pendapatan Inter dari tahun ke tahun selalu naik. Untuk periode 2010, Inter mengantongi 225 juta euro. Artinya, jika dihitung sejak 2006, pendapatan Inter mengalami pertumbuhan 13 persen tiap tahunnya.

Saat ini Inter keluar sebagai klub dengan pendapatan terbesar nomor sembilan dunia dan terbesar kedua di Italia setelah AC Milan. Sayangnya, pemerataan sumber pendapatan Inter kurang bagus. Sekitar 62 persen di antaranya disumbang oleh hak siar televisi. Pendapatan dari tiket hanya 17 persen, sementara sisi komersial 21 persen.

Pendapatan Inter




HAK SIAR TELEVISI, TIKET STADION, & SISI KOMERSIAL

Selain mengetatkan ikat pinggang, Inter harus bisa meningkatkan pendapatan klub lebih besar lagi. Saat ini pendapatan Inter berasal dari tiga sumber yakni hak siar televisi, tiket stadion, dan sisi komersial.

Untuk hak siar televisi, pendapatannya sudah susah ditingkatkan lagi. pasalnya, saat ini Inter merupakan klub dengan pendapatan hak siar terbesar di Italia. Sektor yang masih bisa ditingkatkan lagi adalah pendapatan tiket dan sisi komersial.

Inter sebenarnya punya modal besar untuk meningkatkan pendapatan dari sektor tiket stadion. Ingat, saat ini, jumlah penonton laga Inter di Giuseppe Meazza adalah yang terbanyak di Italia. Mereka mengalahkan AC Milan, AS Roma, dan Juventus.

Sebagai contoh bisa dilihat dari tingkat kepenuhan stadion. Musim lalu,jumlah penonton Inter tiap pertandingan mencapai 58 ribu penonton. Terbanyak di Italia. Jumlah penonton Milan ada di tempat kedua, yakni sekitar 50 penonton tidap laga. Peringkat ketiga diisi Napoli, yakni 45 ribu penonton per pertandingan.

Fakta itu membuat pendapatan tiket stadion Inter menjadi yang terbesar di Italia, yakni 33 juta euro per musim. Sayang, meski terlihat besar, pendapatan tersebut tidak ada apa-apanya dibanding pendapatan tiket stadion klub-klub Inggris. Dibanding Manchester United, pendapatan Inter tidak lebih dari seperempatnya.

Penyebab utama minimnya pendapatan tiket stadion karena status Giuseppe Meazza yang menjadi milik pemerintah kota. Tiap tahunnya, Inter harus membayar sewa 4,5 juta euro.

Selain itu, Inter juga hanya bisa mengoptimalkan pendapatan dari stadion ketika ada pertandingan. Padahal, di klub-klub Inggris dan Jerman, klub bisa menerima pendapatan dari kunjungan wisatawan ke stadion. “Di Eropa, stadion bisa menghasilkan uang selama tujuh hari penuh. Sementara itu, kami tidak bisa melakukannya karena masih menyewa ke pemerintah kota,” keluh Direktur Umum Inter, Ernesto Paolillo.

Secara keseluruhan, pertumbuhan pendapatan Inter selama lima tahun terakhir hanya sebesar 13 persen. Dari 188 juta euro menuju 213 juta euro. Tak heran, seperti klub-klub Italia lain, mayoritas pemasukan Inter memang didapat dari hak siar televisi, yakni sekitar 124 juta euro. Berdasarkan data yang dikeluarkan FIGC, Serie-A merupakan kompetisi yang pemasukannya paling bergantung kepada hak siar televisi (65%). Bandingkan dengan Prancis (60%), Inggris (50%), Spanyol (38%), dan Jerman (32%).

Pada 2010 lalu, Inter juga mendapat pemasukan cukup besar dari hak siar televisi, yakni mencapai 138 juta euro. Angka itu diraih berkat performa di kancah domestik, dan Liga Champions, di mana Inter berhasil melaju ke final dan tampil sebagai juara. Namun, tak selamanya mereka harus bergantung pada hak siar televisi. Keseimbangan masuknya keuntungan dari lubang lain pun harus dipertimbangkan. Hal ini yang tentunya masih menjadi pe-er bagi jajaran direksi La Beneamata demi mengikuti Financial Fair Play yang dimainkan UEFA.

(Grafik & data: FIGC, Transfermarkt, Swiss Ramble, La Gazzetta, Deloitte, dll)

Friday, January 20, 2012

Diego Milito: Saat Bidone d'Oro Tak Lagi Menakutkan


Form is temporary, but Class is permanent
. Ujar-ujar itu saya pikir pantas diapungkan saat menyimak perjalanan karier seorang Diego Milito. Dia memang bukan pemain dengan pesona luar biasa seperti Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, ataupun Zlatan Ibrahimovic. Perjalanan karier pun tak semengilap ketiganya. Meski begitu, Milito mampu menunjukkan performa laiknya seorang bintang. Tampak dari performa termutakhir, setelah dia dinobatkan sebagai peraih Bidone d'Oro, atau pesepak bola terburuk sepanjang 2011.

Bagi sebagian besar pesepak bola di Italia, Bidone d'Oro memang dianggap sebagai kutukan nan menakutkan. Bagaimana tidak, sejak penghargaan Bidone d'Oro mulai diusung Rai Radio pada 2003 silam, kutukan Golden Bin, trofi yang diberikan kepada peraih Bidone d'Oro, secara perlahan bisa mematikan karier sang pemain. Bahkan hampir mustahil bagi pemain tersebut untuk kembali menemukan sinarnya.

Setidaknya hal itu yang pernah dirasakan nama-nama populer seperti Rivaldo, Christian Vieri, Adriano, Nicola Legrottaglie, Ricardo Quaresma, hingga Felipe Melo. Penampilan memesona mereka semakin memudar usai meraih predikat pemain terburuk hasil jajak pendapat yang diselenggarakan Rai Radio. Rivaldo langsung mudik dari AC Milan menuju Cruzeiro sebelum mengembara bersama klub-klub medioker di belahan Eropa lain seperti Olympiakos, AEK Athens, hingga Bunyodkor. Vieri pun setali tiga uang. Performa mengecewakan di San Siro tak kunjung membaik. ia pun terusir hingga ke AS Monaco. Nasib tak jauh berbeda dialami Quaresma dan Melo.

Sedikit apresiasi pantas diberikan kepada Adriano. Bukan karena striker asal Brasil ini berhasil meraih tiga gelar Bidone d'Oro, melainkan mentalitas yang ditunjukkan dalam upaya bangkit dari keterpurukan. Setelah meraih Golden Bin sebanyak dua kali berturut-turut selama di Inter, Adriano sempat dipaksa mudik ke Flamengo.

Namun, pada usia yang masih tergolong muda, semangat membara ditunjukkan pemain berjuluk L'Imperatore ini. Pinangan dari AS Roma pun disambut dengan tangan terbuka. Petualangan kedua di Italia resmi dilakoni bersama skuad Serigala Ibukota. Sial bagi Adriano, kutukan Bidone d'Oro ternyata masih terus menghantuinya. Total, dia hanya merasakan lima kali kesempatan bermain tanpa sekalipun mencetak gol. Pencinta sepak bola Italia pun tak ragu kembali menghadiahi pemain kelahiran Rio de Janiero itu trofi Golden Bin yang keempat kalinya. Konsekuensinya cukup pahit, dia pun kembali terkucilkan, hingga memilih pulang kampung ke Corinthians.

Cara Milito mencetak gol pada musim ini.


Pada 11 Desember 2011 lalu, pendukung Inter dipaksa ketar-ketir melihat rilis yang dikeluarkan Rai Radio. Tiga nama dari skuad La Beneamata masuk nomine peraih Bidone d'Oro 2011. Dua pemain baru, dan satu muka lama. Ironis, satu nama itu tak lain protagonista utama saat final Liga Champions 2009-10 di Santiago Bernabeu, yakni Milito. Puncaknya ketika nama Milito akhirnya masuk ke jajaran pengoleksi Bidone d'Oro. Sebuah hasil voting yang tentu membuat para Interisti bak kebakaran jenggot. Namun tidak bagi pemerhati sepak bola lain. Pasalnya, performa Milito usai membawa Inter meraih treble winner pada 2010 silam memang mulai terjun bebas.

Jika pada musim pertamanya dia mampu menorehkan total 30 gol dari 51 penampilan, musim berikutnya koleksi golnya mulai tergerus. Torehan 8 gol bahkan tak sampai separuh dari pencapaiannya pada musim pertama di Inter. Badai cedera menjadi salah satu penyebab keran gol Milito mulai tersumbat. Tak pelak, rumor kepindahannya dari Giuseppe Meazza pun kian beredar santer. Genoa coba memanfaatkan situasi dengan bujuk rayu agar sang striker mau kembali ke Luigi Ferraris.

Akan tetapi, manajemen Inter tak mau gegabah. Kepergian Samuel Eto'o ke Anzhi Makhachkala pada musim panas lalu, membuat Presiden Massimo Moratti memutuskan menjaga salah satu generasi emas tersisa peninggalan Jose Mourinho. Disebut generasi emas karena sejak era La Grande Inter yang dibesut allenatore legendaris, Helenio Herrera, medio 1960-an silam, baru kali ini mereka mampu berjaya di kancah Eropa. Gayung bersambut, Milito bersikeras enggan meninggalkan Appiano Gentile. Rayuan Genoa pun ditampiknya. Kesetiaan bersama skuad I Nerazzurri tetap dijaga.

"Tak pernah sedikitpun terlintas dalam pikiranku untuk pergi. Situasi seperti ini sering terjadi di sepak bola. Aku hanya perlu tenang, dan terus bekerja keras. Aku percaya, fans Inter akan selalu berada di belakangku," tutur Milito dengan penuh rasa percaya diri.

Buah kerja keras dan kesabaran Milito pun terjawab. Penampilannya meningkat pesat pada tiga laga terakhir. Diawali sebiji gol sebagai penutup tahun kala Inter meraih kemenangan 4-2 atas Lecce, Milito mendapat standing ovation dari publik Giuseppe Meazza kala menyumbangkan dua gol dan satu assist pada laga pembuka 2012, menghadapi Parma. Inter menang dengan skor telak 5-0, dan Milito mencatatkan namanya sebagai man of the match pada laga itu.

Tak banyak yang mengira Milito mampu bangkit secepat itu. Terlebih, gol demi gol tercipta kurun sebulan kurang sejak membawa pulang kutukan Bidone d'Oro. Puncaknya, kala Inter harus berhadapan dengan rival sekota, Milan dalam laga bertajuk Derby della Madonnina. Insting membunuh Milito kembali muncul. Diawali sentuhan apik usai menerima bola sodoran dari kapten sekaligus rekan senegaranya, Javier Zanetti, Milito memaksa kiper Christian Abbiati takluk melalui sepakan diagonal kaki kirinya. Gol yang membuat Interisti berpesta di tengah dominasi Milanisti di San Siro.

Puja-puji pun mengalir deras. Julukan Il Principe kembali laik disematkan kepada striker berusia 32 tahun ini. "Dia salah satu orang yang pernah membantu Inter memenangkan Liga Champions, sehingga jelas sangat layak dihormati. Kenapa saya masih memberinya kepercayaan? Pertama, saya menghargai kariernya. Kemudian apa yang disumbangkannya kepada tim, saya berharap dia bisa memberikan sesuatu kepada tim hari ini dan seterusnya. Cepat atau lambat Il Principe akan kembali," sanjung sang allenatore, Claudio Ranieri.

Ya, pujian Ranieri memang cukup beralasan. Milito bukan pemain biasa. Kelasnya sebagai seorang bintang berhasil membawanya keluar dari lubang hitam yang sempat menghambat kariernya. Visi, teknik sempurna, dan ketenangan, menjadi kelebihan yang dimiliki Milito untuk menjadi seorang striker istimewa. Dia bukan bomber egois, namun cukup cerdas untuk membuat keputusan singkat, kapan harus mengoyak gawang lawan, kapan harus memberi assist. Penampilannya di lapangan memang tak melulu sempurna, namun kelasnya sebagai seorang pemain bintang tak akan pernah lekang oleh usia. Milito memberi pelajaran bagi para pemain muda Inter. Bahwa keterpurukan bukanlah akhir, melainkan transformasi seorang pemain menuju kebintangan. @IrawanCobain

Statistik performa Milito musim 2011-12.

Perkembangan nilai jual Milito dari tahun ke tahun.

In Memoriam: Giacinto Facchetti

In Memoriam: Giacinto Facchetti