Monday, December 19, 2011

Angin Regenerasi di Skuad La Beneamata

Di bawah kendali Claudio Ranieri, I Nerazzurri mulai berani memberi kepercayaan kepada para pemain muda.


Putusan Inter Milan untuk menunjuk Claudio Ranieri sebagai pelatih tampaknya tepat. Perlahan-lahan, performa I Nerazurri mulai stabil. Kemenangan demi kemenangan semakin sering diraih.

Ranieri bahkan berani sesumbar dengan mengatakan Inter masih menjadi favorit peraih titel juara. “Jika harus bertaruh satu euro untuk scudetto, saya akan menempatkan uang saya ke Inter. Mereka tetap tim favorit saya,” kata pelatih berjuluk The Tinkerman ini.

Kebenaran ucapannya masih perlu ditunggu pada akhir musim nanti. Namun yang jelas, Inter di bawah kendali Ranieri berada di trek yang benar. Selain hasil positif, indikasi lainnya adalah mulai tumbuhnya regenerasi pemain di tubuh I Nerazzurri.

Dalam tujuh laga baik di Serie-A maupun Liga Champions, Ranieri mulai berani memberi kepercayaan kepada para pemain muda. Meski tidak selalu tampil sejak menit pertama, para youngster itu mencicipi laga resmi. Para pemain belia yang beruntung tersebut adalah Joel Obi, Ricardo Alvarez, Coutinho, Davide Faraoni, dan Luc Castaignos.

Menariknya, performa para pemain tersebut tidak mengecewakan. Alvarez misalnya. Dia mampu mengemban peran yang ditinggalkan oleh Wesley Sneijder sebagai playmaker.

Castaignos tidak kalah apik. Meski belum pernah bermain sejak menit pertama, eks pemain Feyenoord ini membuka keran golnya bersama Inter di Serie-A pada laga melawan Siena (27/11).

Selain itu, performanya telah membuat Ranieri jatuh hati. Itulah yang mendasari tekad Ranieri untuk mendidik Castaignos. “Masa depan cerah menantinya. Saya menyiapkannya untuk berbagai peran. Secara alami, dia adalah striker, seorang penyerang tengah, namun dia juga bisa bermain di sayap,” kata Ranieri.

Performa Coutinho, Faraoni, dan Obi juga tidak bisa dibilang buruk. Faraoni adalah angin segar di tengah makin menuanya barisan defender I Nerazzurri. Suatu saat, pemain berumur 20 tahun tersebut bisa menggantikan Douglas Maicon di posisi bek kanan. Sementara Obi menambah energi di lini tengah dengan agresivitasnya. Tak heran, di antara para pemain muda yang diturunkan Ranieri, Obi yang paling sering main.

Khusus untuk Coutinho, Ranieri memang memiliki misi khusus. Dia sengaja memberi kesempatan main sebagai ujian bagi Countinho. Jika sukses, Inter tentu akan berpikir ulang untuk meminjamkan Countinho ke klub lain pada Januari nanti.

DISAMBUT SENIOR

Terlepas dari itu, angin regenerasi mulai berembus di Inter. Alih-alih resisten, fenomena ini justru disambut dengan tangan terbuka oleh para pemain senior. Salah satu yang antusias adalah Andrea Ranocchia. Dia menilai perkembangan pemain muda bakal membantu Inter meraih hasil terbaik.

“Tahun ini, banyak sekali pemain muda yang datang dari negara lain. Tentu mereka butuh waktu untuk beradaptasi. Namun, dalam beberapa laga terakhir Alvarez dan Castaignos sudah mencetak gol. Ini menandakan mereka mulai padu,” kata Ranocchia.

Sikap Ranocchia sungguh tepat. Beberapa andalan seperti Sneijder, Maicon, dan Diego Forlan tengah cedera. Inter butuh pemain muda seperti Alvarez, Faraoni, dan Castaignos untuk menggantikan tugas mereka.



Santer Di Tengah

Dibanding sektor lainnya, peremajaan di tubuh Inter paling deras terjadi di lini tengah. Tiga pemain muda dipercaya bermain oleh Claudio Ranieri. Jumlah itu paling tinggi ketimbang sektor lain seperti lini depan dan belakang.

STRIKER
Luc Castaignos (19 tahun)
Main - 3
Inti - 0

Pengganti - 3


MIDFIELDER

Joel Obi
(20 tahun)
Main - 6

Inti - 1
Pengganti - 5


Ricky Alvarez
(23 tahun)
Main - 5

Inti - 2

Pengganti - 3


Philippe Coutinho (19 tahun)
Main - 2

Inti - 1

Pengganti - 1


DEFENDER
Marco David Faraoni (19 tahun)
Main - 2

Inti - 0
Pengganti - 2


* Data sejak Ranieri melatih Inter di Serie-A dan Liga Champions.

Sunday, December 11, 2011

Stadion Baru Inter: Siap Untuk Musim 2013-14

Saat Inter Milan berhasil merengkuh treble winner pada 2010 lalu, tentunya menjadi prestasi yang membanggakan bagi sepak bola Italia, khususnya Interisti. Namun, jika menilik lebih jauh, keberhasilan tersebut hanya menjadi euforia semu bagi sepak bola Italia. Bagaimana tidak, sejak tahun lalu, Italia mengalami penurunan prestasi drastis di Eropa. Nilai koefisiensi mereka dilampaui Jerman yang mengusung Bundesliga 1. Popularitas Serie-A mungkin lebih unggul, namun dari segi peningkatan infrastruktur, pengelolaan bisnis, serta daya tarik penonton, Bundesliga 1 cukup pesat perkembangannya.
Miris melihat stadion-stadion di Italia tak melulu dipenuhi penonton. Berbanding terbalik dengan stadion-stadion di Jerman yang hampir selalu penuh. Padahal, dari segi fanatisme, suporter Italia tak kalah. Namun ada satu pembeda. Saat Inggris, Spanyol, maupun Jerman mulai mengusung sepak bola industri, Italia masih berkutat dengan konsepsi awal, yakni sekadar olahraga dan permainan, demi mengejar prestasi.
Ya, dari konsepsi awal yang dipahami banyak orang, sepak bola memang tak lebih dari sekadar olahraga dan permainan. Tak kurang, tak lebih. Hingga akhir 1960-an, citra itu sangatlah lekat. Namun, seiring modernisasi yang bergulir di seluruh penjuru jagat dan berkembangnya profesionalisme di sepak bola, citra tersebut mulai bergeser. Kini, sepak bola adalah bisnis dan hiburan.
Dalam kerangka itulah para pengelola klub sepak bola kian gencar dalam berlomba mengeruk uang. Perhitungan untung-rugi menjadi hal yang sangat lazim. Namun hal itu belum tampak di Italia. Terbaru, AS Roma mulai berpaling dari konsepsi lama, dan mulai mengusung sepak bola industri. Dipelopori oleh pengusaha asal Amerika Serikat selaku pemilik baru, Thomas Di Benedetto.
Memang tak instan. Manchester United, Arsenal, Chelsea hingga Manchester City pun merasakan hal itu pada awal-awal revolusi mereka. Namun, setidaknya pengorbanan itu diyakini bakal membuahkan hasil.
Dari tahun ke tahun, sepak bola menjelma menjadi bisnis raksasa dengan omset triliunan rupiah. Klub-klub kian berlomba menjadi yang terdepan dalam pendapatan dan keuntungan. Pelbagai cara pun dilakukan, dari menarik sponsor sebanyak-banyaknya hingga merombak dan membangun stadion baru.
Dalam beberapa tahun terakhir, langkah pembangunan stadion baru menjadi tren anyar. Tengok saja Bayern Muenchen yang mengeluarkan uang 340 juta euro (sekitar Rp5,3 triliun) untuk membangun Stadion Allianz Arena pada 2002-05. Arsenal lebih gila. Mereka mengeluarkan 430 juta pounds (sekitar Rp7,2 triliun) kala membangun Stadion Emirates.
Di Italia, dengan bangga Juventus memperkenalkan markas baru mereka, Juventus Arena, yang dibangung dengan mengorbankan lahan seluas 355.000 hektar di bekas lokasi Stadion Delle Alpi. Kini, mereka bisa mengusungkan dada, sebagai pelopor pembangunan stadion pribadi di Italia.
Jika dibandingkan Alianz Arena dan Emirates, Juventus Arena memang tak lebih besar. Biaya yang dikeluarkan pun masih jauh di bawahnya, yakni sekitar 100 juta euro (sekitar Rp1,2 trilyun). Namun, jangan ditanya berapa keuntungan yang diraup I Bianconeri dengan memiliki stadion berkapasitas 41.000 penonton itu. Sejak menempati Juventus Arena, penghasilan mereka ditaksir tak kurang dari 60-70 juta euro. Bandingkan ketika Si Nyonya Tua harus turun kasta ke Serie-B. Pemasukan mereka hanya berkisar 8 juta euro (sekitar Rp96,6 miliar).
Bagaimana dengan klub-klub lain? Sedikit bocoran, Lazio pun sudah berencana menempati stadion baru yang dinamai Stadion Delle Aquile yang tengah dalam masa pematangan. AC Milan dan AS Roma pun tak kalah. Mereka terus bergerak untuk mewujudkan rencana kepemilikan stadion pribadi.
Lalu Inter? Sudah menjadi rahasia umum klub yang dikuasai taipan minyak, Massimo Moratti ini berharap sudah memiliki stadion baru, setidaknya pada musim 2013-14. Mengenai rencana pembangunan stadion baru milik Inter pun sudah sempat saya bahas di artikel sebelumnya (Kado Perpisahan Untuk Giuseppe Meazza).
Wacana membangun stadion baru sudah muncul sejak 2008 lalu, bertepatan dengan pesta seratus tahun lahirnya Inter. Setahun masa penggodokan rencana itu, hingga kini mereka sudah memulai pembangunan proyek yang ditaksir senilai 300-400 juta euro, atau tak kurang dari Rp4,3 triliun. Dana tersebut didapat dari pelbagai sumber, mulai dengan meminjam ke bank, hingga sponsorship.
Moratti sendiri tak main-main. Pengorbanan sudah dilakukan, termasuk mengontrol kebijakan transfer demi menyeimbangkan neraca keuangan. Jangan heran dalam beberapa tahun terakhir Inter kerap menjual pemain-pemain bintang dengan harga selangit. Zlatan Ibrahimovic ke Barcelona, Mario Balotelli ke Manchester City, hingga Samuel Eto'o ke Anzhi Makhachkala. Semua mutlak demi memperkokoh fondasi Inter, dalam hal prestasi maupun bisnis.
Hingga kini, proyek stadion baru memang terkesan rahasia. Sangat jarang pemberitaannya muncul di media. Namun, agaknya kejutan besar memang tengah direncanakan Moratti. Stadion yang akan didedikasikan untuk dua mantan presiden klub, Angelo Moratti (ayah Massimo Moratti) serta Giacinto Facchetti (eks kapten Inter) ini akan memiliki kapasitas sekitar 60-65.000 tempat duduk. Memang tak sebanding dengan Giuseppe Meazza yang memiliki 85.700 tempat duduk. Namun Moratti lebih mementingkan kenyamanan, serta fasilitas lengkap nan modern.
Tugas berat pun tengah dilakukan Sports Investment Group, selaku konsultan pelaksana proyek pembangunan stadion baru Inter. Di stadion baru, bakal terdapat fasilitas bintang lima, seperti restoran, pusat perbelanjaan, tempat bermain anak-anak, museum, galeri piala dan banyak lagi. "Kami tengah mengerjakan stadion baru untuk Inter. Dibanding dengan yang dulu, markas baru ini akan memiliki teknologi dan fasilitas multimedia yang jauh lebih lengkap,” ujar manajer proyek Sports Investment Group, Nicholas Gancikoff seperti dilansir La Gazzetta dello Sport.
Selain fasilitas lengkap dan modern, Moratti memang menjadikan kenyamanan penonton sebagai harga mati. Selain lahan parkir luas, beserta sarana transportasi komplet, sudut penglihatan penonton di setiap tribun pun akan dibuat lebih nyaman dan semaksimal mungkin. Selain itu, satu lagi inovasi di dalam stadion, yakni tidak adanya trek lari yang menjadi jarak penonton dengan lapangan.
Di tempat duduk penonton, khususnya di tribun VIP pun akan tersedia penyewaan layar genggam untuk mempermudah melihat tayangan ulang gol atau kejadian-kejadian penting selama pertandingan. Dengan menyediakan 10-20 ribu tempat duduk VIP, Moratti berharap mendapatkan sekitar 100 juta euro (Rp1,45 triliun) per tahunnya. Jika demikian, hanya tiga tahun modal Moratti sudah bisa kembali. Sekadar info, pendapatan Inter dari Giuseppe Meazza hanya sekitar 30 juta euro (Rp436,2 miliar) per tahunnya. Sudah termasuk potongan-potongan berupa uang sewa, pajak, dan sebagainya.
Sebagai perbandingan, klub raksasa Inggris, Manchester United masih berada di atas dalam hal penghasilan dari penonton di stadion, yakni mencapai 138 juta euro atau sekitar Rp1,66 triliun. Diikuti Arsenal (135 juta euro), Chelsea (111 juta euro), Barcelona (89 juta euro), Real Madrid (82 juta euro), serta Liverpool (57 juta euro). Salah satu rival Inter, AS Roma dan Lazio diperkirakan meraup 24 juta euro (sekitar Rp289,9 miliar) selama bermukim di Stadion Olimpico.
Berdasarkan pengamatan Deloitte, pembangunan stadion baru memang mendongkrak pendapatan klub. “Salah satu keunggulan klub-klub Inggris yang membuat mereka mendominasi Football Money League adalah kesinambungan investasi terhadap stadion,” ungkap Alan Switzer, salah satu direktur di Sports Business Group Deloitte. “Performa klub-klub Jerman juga melonjak karena perbaikan dan pembangunan stadion baru. Perlu diingat, stadion tetaplah aset terbesar.”
Well, mari kita sama-sama berharap investasi yang digelontorkan Moratti dalam waktu tidak terlalu lama sudah mendatangkan keuntungan. Dari segi finansial, maupun prestasi. Dan tentu stadion baru nantinya bakal menjadi kebanggaan Interisti. Jika tidak ada aral melintang, pada 2013-14, Inter sudah siap menempati markas baru ini. (@IrawanCobain)
Beberapa gambar kemungkinan stadion baru Inter (foto dari Sport.virgilio.it):



In Memoriam: Giacinto Facchetti

In Memoriam: Giacinto Facchetti